Rabu, 25 Desember 2013

Resolutions (1)


  1. Put lower expectations.
  2. Enjoy solitude.
  3. Get enough shallow friends.
  4. Be satisfied enough being myself, that is, not so lovable to others.
  5. Be independent.
  6. Learn to say no.
  7. Pursue happiness in ambition.

Jumat, 20 Desember 2013

Unpopular Opinion Puffin?

Setiap cerita fiksi terinspirasi dari kisah nyata.
Setiap kisah nyata yang diceritakan kembali dibumbui fiksi.
Kedua pernyataan ini bahkan terasa lebih benar untuk kisah romansa.
Namun, hei, pernyataan ini sekedar opini.

Senin, 16 Desember 2013

No Pain, No Gain?

Pada hari Sabtu, 14 Desember 2013 lalu, aku dan beberapa teman seangkatan bertugas menjadi observer di try out alat ukur psikologi buatan tim mas Wisnu. Ya tentu saja harus memakai pakaian formal seperti kuliah psikodiagnostik biasanya. Aul memutuskan memakai high heels dan tentu saja sebagai orang yang cukup labil aku melakukan konformitas. Yah, akhirnya dapat kesempatan juga untuk mengenakan high heels yang sudah dibeli sejak kapan tahu.


Pertama kalinya memakai heels dengan tumit lima sentimeter...dan itu selama tidak kurang dari lima jam penuh...
Memang dipuji cantik. Memanjakan telinga, tetapi menyakiti kaki ya.


Berbicara tentang sakit kaki, aku tiba-tiba teringat cerita "The Little Mermaid" versi Hans Christian Andersen. Dalam ceritanya, ketika si duyung muda hendak diberikan ramuan yang akan mengubahnya menjadi manusia, si penyihir laut berkata, "Semua orang akan mengatakan bahwa kamu adalah yang tercantik yang pernah mereka lihat...tetapi setiap langkah yang kamu jejakkan akan terasa seperti kamu menginjak ujung-ujung belati..."

Bisa jadi metafora yang bagus untuk pemakaian high heels, baik dari sisi cantiknya maupun sakitnya.
Ya, sedikit hiperbolis, tetapi bagus.

Kamis, 12 Desember 2013

No Such Thing


"Happy ever after" stories should be banned as they spoil our expectation of reality.

Senin, 09 Desember 2013

Wanna Be Cute As Well

- Talking about a couple -

"They are so cute."
"How come you said that they were cute?"
"Ya, because one day the guy will look past his life and say, 'If I had not made the decision, I would have never awakened by her side in the morning.' Right?"
*Laughter* "Maybe you're right."

Rasa

Sesuatu yang kurasakan dahulu.
Sekarang tidak lagi, namun tetap saja menimbulkan perasaan senang ketika dibaca kembali...

...
Hanya melihat sosokmu di kerumunan orang saja membuatku meraba pipi, merasa panas pada keduanya. Aku tahu aku merona. Terlebih ketika aku tahu kita hendak berpapasan. Detik-detik berlalu dengan hentakan-hentakan keras di dada. Namun, di detik mata kita bertemu, hentakan berubah menjadi aliran sejuk yang memenuhi dadaku.

Aku tersenyum. Kamu pun tersenyum. Entah salah satu dari kita yang memulainya atau senyuman itu muncul begitu saja di saat yang sama. Aku tak peduli. Aku senang.

Aku senang karena kamu tidak berpura-pura bahwa aku tidak ada, meskipun banyak orang yang memperlakukanku demikian. Aku senang meskipun kamu tidak tahu betapa senangnya diriku. Aku senang meskipun aku tidak dapat memberitahumu betapa kamu mampu memberiku rasa yang berbeda dan membuatku salah tingkah.

Lebih dari segalanya, aku senang bahwa kamu ada di sini, memberiku kesempatan untuk mengenalmu. Entah kapan akan kumulai, namun aku tahu bahwa kejenuhan akan menghampiri bila aku hanya mengamatimu dari jauh saja. Entah kapan akan kumulai, namun aku tahu bahwa suatu saat - entah cepat atau lambat - aku akan berusaha mengenalmu lebih dalam lagi.

Minggu, 08 Desember 2013

What It Means


Saying "I love you," 
means giving you the chance to hurt me, 
but trusting you NOT to.

Protecting My Fragile Self

I've always been holding on to this principle: 
"Learn to be happy by yourself. 
Then, if you have someone to be with, that'll be okay. However, if you don't, that'll be okay, too.
That way, other's presence won't determine your happiness.
That way, other's company will be pleasant, but not necessary."


But hey, there IS a reason for someone to be called "significant other" right?

Because their presence brings a significant difference for you.


And I just realized how significant his absence is to me...


..but I don't wanna be the only one who feels this way.

I don't wanna feel like I am the only one who feels this way.
It hurts...


Now I know why I held on to that principle at the first place...


Kamis, 05 Desember 2013

Romantic?

Some people whom I know associate a romantic relationship with disney land.


Some symbolize "love" with roses that they become the most common gift among couples.




Some get flattered by. compliments. Others love phone call so much they do it every so often.




Well, my idea regarding romance doesn't involve such things. It is quite simple, actually.
As a rather serious, introvert person, I am unable to talk as much as people usually demand me to.

Well, then, I simply picture a romantic relationship as a silence without awkwardness.


A way to communicate feeling without words is the best one yet. 
To me, the comfort I feel deep inside is the nicest gift one can ever give.



By the time I enjoy the silence in his presence,
 that's when I know that I love him.


Selasa, 03 Desember 2013

Guys Pls

"If we all go for the blonde and block each other, not a single one of us is going to get her. So then we go for her friends, but they will all give us the cold shoulder because no one likes to be second choice. But what if none of us goes for the blonde? We won't get in each other's way and we won't insult the other girls. It's the only way to win."

-John Nash; A Beautiful Mind

Jumat, 29 November 2013

Feelin'

There's this lecturer.There are too many differences between us. Starting from ways of life to the little ones in daily activities.


...but if I ever agreed with him, it's when he said this,

"Feeling is not to be said. It's to be felt."


Well, that's why it's called "feeling", right?

Start feeling.


Equilibrium


Baru-baru ini seorang teman mengalami kegundahan dan meminta nasihat. Well, hal ini sungguh tidak biasanya. Dia adalah seseorang yang logis, sehingga jarang bicara mengenai hati.
Dia bilang, dia merasa bodoh terombang-ambingkan oleh perasaan. 
Mendengar kisahnya, aku teringat suatu metafora yang sangat bagus mengenai pikiran dan perasaan.

Pikiran atau logika adalah kemudi kapalmu di lautan yang buas. Ya, kamu memang membutuhkannya untuk mengarahkan. Kamu membutuhkannya untuk kendali atas dirimu.

Namun, apa gunanya kemudi jika kamu tak punya layar untuk menangkap angin?
(Yah, anggaplah saja kamu hidup di zaman kapal tak bermesin)
Perasaan adalah layarmu. Layar yang kamu butuhkan untuk menggerakkan. 
Bagaimana kamu mengemudikan kapal jika ia tak bergerak?


Kapan kamu akan mencapai pelabuhan berikut dengan kapal yang diam?

Jumat, 12 Juli 2013

Favorite Sport

My favorite sport? Oh, it's badminton.
Well, by "favorite", I mean the one which I hate less.

Jumat, 05 Juli 2013

What's Important

Hari ini, setelah membaca sebuah tulisan romantis karangan teman yang sangat "tidak biasa", tiba-tiba aku teringat perkataan Dara tentang kokologi kuda.

"Kalau bisa pilih, lo maunya kuda hitam, coklat, atau putih?" katanya suatu hari menyelingi kesibukan mengerjakan tugas Psikologi Manajemen. (Note: That's what girls do when they are in groups with only girls as members)
Jadilah pembahasan malah diselingi topik kuda.
Setelah masing-masing sudah memilih, barulah Dara membocorkan bahwa kuda di sini melambangkan pria. Kuda hitam berarti tipe semacam badboys, kuda putih berarti geeks, dan kuda coklat berarti average men.

Setelah dipikir-pikir lagi, apakah kategorisasi pria idaman bisa didasarkan pada hal-hal seperti fisik atau minat mereka saja?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, berikut disajikan kutipan pandangan salah satu temanku tentang gadis yang bisa membuatnya jatuh cinta:
"She was kind and gentle, and always caring. Along the way she also helped me do the same. ...and I started actively helping her randomly help other people. It was wonderful, as I didn't realize before, that helping people could make me feel so happy and fulfilled. ...until at one point it happened; for the first time in my life I felt like I was in love."

Selama ini aku selalu bertanya pada teman tersebut tentang apa yang dipakai perempuan yang biasanya dapat menarik perhatiannya dan tipe wajah perempuan seperti apa yang dia sukai, tetapi dia tidak pernah bisa menjawab.
Sekarang aku tahu alasannya.
Because those all don't matter that much.

Maybe at the first glance, guys who do specific sport, play specific musical instrument, or do calculation in physic very well seem to be a potential partner, but....nah.

There are many things waaaay more important.

Kamis, 02 Mei 2013

The Reason to Like You


"I like you not for who you are. I like you because of the feeling I have when I'm with you."

Kamis, 25 April 2013

Differences


The Sims Life Stories merupakan salah satu seri games The Sims yang dipublikasikan oleh EA Games. Seri ini merupakan penyederhanaan dari The Sims 2 yang dibuat khusus untuk dapat dimainkan dengan laptop.

Penyederhanaan yang dilakukan tidak menghilangkan beberapa fitur kompleks yang menarik dan menjadi ciri khas dari The Sims 2.
Salah satu fitur yang masih dipertahankan dan paling menarik adalah "Aspiration"

"Aspiration" merupakan atribut kepribadian yang menentukan keinginan dan ketakutan (wants and fears) dari seorang Sim.

Wants and Fears of a Sim

Ada 5 buah aspiration yang dapat dipilih ketika menciptakan seorang Sim dewasa, yakni Family, Fortune, Knowledge, Popularity, dan Romance.

                                 
                      










Ada pula yang dinamakan dengan aspiration meter.

Aspiration Meter
Aspiration meter ini dipenuhi sesuai dengan keinginan Sim. Misalnya saja, seorang Sim yang memiliki Knowledge Aspiration akan memenuhinya dengan cara mempelajari suatu hal baru, sedangkan Sim yang memiliki Popularity Aspiration akan memenuhinya dengan cara mengadakan pesta.





Adanya fitur ini membuatku berpikir ulang tentang perbedaan individual, kepribadian, minat, dan pilihan.


Aspiration yang berbeda-beda tidak membuat individu yang satu lebih baik - atau sebaliknya - lebih buruk dibandingkan dengan individu lainnya.
Adanya aspiration yang berbeda-beda malahan membuat dunia menjadi lebih kaya.



Adanya aspiration yang berbeda-beda seolah mengingatkan kembali bahwa tiap orang memang punya ciri khas masing-masing. 
Tidak perlu mencoba meniru ciri orang lain yang terkesan lebih mengagumkan. 

Determine who you are

Toh cara memenuhi aspiration kita masing-masing berbeda.
Tidak perlu memaksakan untuk berkecimpung dalam suatu bidang hanya karena kita melihat satu tokoh yang sukses dalam bidang tersebut. Mungkin memang aspiration miliknya terkait erat dengan bidang itu.
Kita cukup mengejar impian kita sendiri. Memenuhi aspiration kita sendiri.



'Coz people are meant to be different

How to Write Well

1. Avoid alliteration. Always.
2. Prepositions are not words to end sentences with.
3. Avoid cliches like the plague. They're old hat.
4. Comparisons are as bad as cliches.
5. Be more or less specific.
6. Writers should never generalize.
Seven: Be consistent!
8. Don't be redundant; don't use more words than necessary; it's highly superfluous.
9. Who needs rhetorical questions?
10. Exaggeration is a billion times worse than understatement.


Source:
http://9gag.com/gag/7035936

Motif

Definisi "motif" menurutku sendiri adalah penggerak dari tingkah laku.

Hal yang belum kuketahui adalah apakah motif yang berbeda dapat menghasilkan kualitas tingkah laku yang berbeda di domain yang sama.

Contohnya saja, apakah kualitas tingkah laku "belajar psikometri" dengan motif curiousity akan berbeda dibandingkan dengan motif untuk mendapatkan pujian?

Salah satu temanku berpendapat bahwa passion, atau motif murni akan menghasilkan kualitas tingkah laku yang lebih baik dibandingkan dengan motif instrumental.
Pendapat ini merupakan inferensi dari pengalamannya, yakni ketika timnya, yang di bawah asuhan pendidik yang mendukung mereka untuk bermain demi kesenangan dan kepuasan mendapatkan lebih banyak kemenangan dibandingkan dengan tim yang sejak awal dididik untuk menang.

Kupikir, ada benarnya juga.
Setidaknya, tak ada salahnya untuk dicoba.

Rabu, 24 April 2013

Spesial

"Ciee...tumben nih pakai rok."
Untuk kesekian kalinya disapa demikian, ia hanya tersenyum saja.
Tidak tahu bagaimana harus menanggapi perkataan orang-orang.
Bahkan tidak tahu apakah itu pujian atau bukan.

Variasi sapaan yang diterima hari ini antara lain...
"Rapi banget. Ada apa?"
"Pantas hari terik di musim hujan. Kamu pakai rok toh?"
"What the heck did you do to your hair?"

Dari senyuman serba salah untuk orang asing (acquintance, red.) yang mengomentari dengan sopan sampai kernyitan untuk teman dekat dengan komentar menyebalkan sudah dilontarkannya.

Melewati lorong-lorong kampus, tanpa sadar ia berlaku invisible seperti biasa. Tali ranselnya digenggam erat. Pandangan dialihkan dari sebagian besar manusia yang datang dari arah berlawanan.

Kelas dicapai. Kursi dituju.
Duduk, diam.

Tidak banyak yang bisa dilakukan sepuluh menit sebelum kelas dimulai.
Buka catatan. Mainkan pulpen. Tiga menit berlalu.
Tutup catatan. Buka laptop.
Buka chrome. Desktop. Chrome. 9gag. Scroooolled...
Desktop. Hibernate.

"Kamu tuh ngapain?" suara yang tidak asing. Pantulan wajahnya tampak di layar laptop yang gelap.
Cuek. Tutup laptop. "Kelihatannya?"
Tarik kursi. Duduk. "Kelihatannya kamu sedang bingung."
"Begitu?"
"Feels like you're not yourself right now."
Mengernyit. "When did you start judging me?"
"I didn't. Ain't. Won't." Tubuhnya condong, mendekat.
"What do you want?"
"What did you expect by wearing all these stuff?"
"Entahlah. Kamu sendiri yang berkata bahwa aku terlalu kelaki-lakian."
Tertawa kecil. "When did you start caring for people's opinion about you? Kamu bukan orang yang seperti itu."
"Pendekatan behavioristik terhadap kepribadian memandang manusia sebagai korban pasif dari pembentukan lingkungan. I'm a mere victim."
Senyum "Jadi kamu sedang berperan sebagai behaviorist sekarang?"
Angguk. "Tepatnya aliran Pavlov."
"Oh ya?"
"Yeah. With discrimination in association and stuff."
"Uh-huh? What kinda discrimination, exactly?"

Massa berhamburan masuk. Bangku-bangku diisi. Kegaduhan.
Langkah dosen mulai terdengar.

"Sorry. Catch you later."
"Hm."
"I'll make sure you talk about the discrimination and stuff. Take a note."

Mengamatinya berlalu...
Tersenyum kecil.
Not every opinion matters. Only yours does. I know you're special because your opinion and only your opinion is changing me.

Selasa, 09 April 2013

Sama Saja

Esensi dari sebuh percakapan yang berlangsung tidak lama ini:

Aku: "Kenapa kamu tersanjung?"
Dia: "Ya, ada orang-orang yang kuanggap berpotensi untuk menjadi pasangan. Terhadap orang-orang itulah aku lebih sensitif. Kalau mereka melakukan sesuatu, aku bisa jadi tersanjung."
Aku: "..."
Dia: "Masa' sih ga ada orang yang kamu blacklist dari daftar 'mungkin menjadi pasangan'? Orang-orang yang gimanapun ga akan bisa jadi lebih dari teman."
Aku: "Ga ada yang seperti itu."
Dia: "Masa' iya sih menurutmu semua teman laki-laki itu berpotensi untuk jadi pasangan?"
Aku: "Menurutku sih teman perempuan atau laki-laki ga ada bedanya..."


Ya, memang sama saja kan?

Is It Ok to Cry?

Dua sudut pandang dari orang-orang terdekatku:

"Jangan menangisi dia. Jangan menangis untuk hal yang tidak penting."

"Tak apa menangis jika itu caramu untuk meluapkan emosimu. Hanya saja, aku setuju, jangan menangisi dia."

Imprisoned

Entah benar atau tidak, ada satu cerita menarik yang pernah kudengar mengenai seorang Yahudi, survivor dari kamp konsentrasi NAZI. Ia sekaligus merupakan seorang penulis dan psikoanalis.
Namanya Viktor Frankl.

Setelah bebas dari kamp tersebut, ia bercakap-cakap dengan seorang temannya yang juga merupakan survivor. Kira-kira isi percakapannya ialah mengenai ketidakpercayaan bahwa mereka bisa lepas dari penjara dan segala siksaan itu, sampai temannya berkata,
"Entahlah. Aku masih belum bisa memaafkan mereka. Aku benar-benar membenci mereka."
dan Frankl berkata, "Berarti, temanku, mereka masih memenjarakanmu."

Terima Kasih

"Aku kesal."
"Ada apa?"
"Pertengkaran"
"..dengan?"
"...orang yang kukira spesial."
"..dan?"
"..dan dia pakai kata-kata kasar. Seandainya bertemu langsung pasti kupukul."
"Sudah dibayangkan?"
"Haha...memangnya ada pengaruhnya ya?"
"Ya, lebih melegakan."
"Jangan-jangan kau sering membayangkan seperti itu."
"Sesekali, dengan sangat terstruktur."
"Lucu. Okelah, patut dicoba."
"..dan?"
"..dan aku ga akan mau ngomong lagi sama dia. Ga akan kumaafkan."
"Itu bukan fitrah manusia."
"Fitrah maksudnya apa?"
"Esensi manusia."
"..tapi, dia memang menyebutkan hal yang ga bisa dimaafkan. Kalau dimaafkan, dia akan mengulanginya lagi."
"Memaafkan bukan berarti mempersilakan."
"Ya...tapi aku tetap ga mau ngomong lagi sama dia."
"Iya."
"...makasih."

Lebih Berharga

Sebuah percakapan yang berlangsung dulu sekali, namun masih lekat dalam ingatan.

Bulik: "Lho, kenapa obatnya mau dimakan? Kan Uti nggak sakit."
Aku: "Udah terlanjur Uti buka bungkusnya, bulik, kan sayang."
Bulik: "Nanti Uti malah jadi sakit. Kesehatan Uti lebih berharga daripada obat itu. Biar, obatnya dibuang aja."

Rasanya mau menertawakan diriku sendiri.
Bukan hanya dulu, ternyata sampai sekarang pun aku masih bodoh dalam hal menentukan prioritas.
Bukan hanya dulu, ternyata sampai sekarang pun aku masih terlalu mengecilkan harga diriku sendiri.

Rabu, 27 Maret 2013

Kontras

Sebuah cerita tentang seorang teman yang punya sifat-sifat yang kontradiktif satu sama lain.

Ia tidak peka. Ia tidak bisa menangis.
Namun ketika aku berkata sedih, ia seketika memutuskan mengambil alih tugasku; meringankan bebanku.

Ia bukanlah orang yang gentle. Ia tidak akan berinisiatif membawakan barang untuk perempuan.
Namun ketika menyeberang jalan dua arah penuh kendaraan, ia serta merta mengambil alih posisi yang paling rentan untuk tertabrak; serta merta mengambil peran pelindung.
Ketika ditanya alasannya, ia hanya menjawab, "Insting."

Tiga kata untuk menggambarkannya: unik, aneh, langka.

Senin, 04 Maret 2013

Wanting x Needing

When you love someone, don't give them what they want.
Give them what they need.




Approval, Esteem, Chances

Hari ini aku pengen "nyampah" dengan mengisi blog yang semestinya berisi sesuatu yang berbobot ini dengan curhat colongan. Ya...selagi nasihat dari orang yang dicurhatin cukup berbobot.

Hari ini aku mau bicara tentang pengakuan dari orang lain.

Kalau dalam "Hierarchy of Needs", teori oleh Abraham Maslow, pengakuan dari orang lain itu disebut "approval" yang termasuk ke dalam "esteem need". Menurut teori tersebut, pengakuan merupakan kebutuhan keempat yang dimiliki oleh manusia setelah kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, dan kebutuhan untuk dicintai serta diterima terpenuhi.

Hari ini, aku benar-benar merasakan kebutuhan akan pengakuan itu lebih daripada sebelumnya.
Apa pasalnya?
Hari ini ada kejadian yang benar-benar menusuk sekaligus mencerahkan.

Aku sudah menyaksikan teman-temanku diminta untuk menjadi pemimpin di berbagai bidang yang berbeda. Bahkan hari ini, ketika dua sahabatku diajak untuk menjadi koordinator divisi, aku hanya bisa diam. Aku diam dan bahkan tidak bisa tersenyum karena aku merasa mampu. Aku tidak bisa menyembunyikan kekecewaan karena tidak diperhitungkan sama sekali.
Kekecewaan ini sesungguhnya lebih besar terhadap diriku sendiri.

Aku bertanya-tanya, "Apakah aku tidak pantas diperhitungkan? Apakah aku tidak cukup kompeten untuk dilirik dua kali? Apakah aku tidak cukup berharga untuk membuat orang lain sedikiiiiit saja merasa bingung untuk memilih?"
Lalu aku bertanya, "Apakah alasannya karena aku kurang pandai bergaul?"
Dengan bodohnya aku mengasumsikan bahwa aku diperlakukan tidak adil.

Pada akhirnya kegalauan pun berujung pada curhat.
Satu teman yang kucurhati menanggapi, "Kalau kamu mau ikut kepanitiaan ya bilang saja sama recruiter-nya. Bilang saja kalau kamu juga mampu."
"Ya kalau ga diajak menurutku itu artinya aku ga dibutuhkan. Buat apa gabung kalau ga dibutuhkan?" jawabku, semakin kesal pada diri sendiri.
Ia menanggapi, "Kalau kamu bisa, harus ditunjukkan,"
Membuatku terdiam.

Tamparan yang kudapat dari teman curhatan yang satu lagi jauh lebih keras dan menyakitkan.
Aku bertanya, "Apakah orang yang pendiam di kampusmu masih mendapatkan pertimbangan untuk menjadi pemimpin?"
Jawabnya, "Enggaklah. Pemimpin kan harus mampu mempengaruhi dan mengatur orang lain."
Sedikit berharap, aku bertanya lagi, "Gimana kalau dia cuma jadi koordinator divisi, bukan ketua kepanitiaan? Toh orang yang bakal diaturnya bakal jauh lebih sedikit dibandingkan dengan ketua panitia."
Jawabnya, "Sama saja toh. Dia tetap punya bawahan. Miftha Thoha dalam bukunya, Perilaku Organisasi (1983 : 255), menyebutkan bahwa pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan memimpin, artinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain tanpa mengindahkan bentuk alasannya. Itu udah menjawab semuanya."

Aku dengan kesal akhirnya mengakui bahwa yang kubicarakan adalah pengalaman pribadi dan aku sedang merasa down. Tentunya dia tidak menghiburku. Seharusnya aku tahu itu karena ia pernah menjadi sahabatku meskipun sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu.
Dia malah menamparku lebih keras lagi.
"Itulah yang harus kamu perbaiki. Kenapa cuma diam saja? Tunjukkanlah kalau kamu bisa."
Dengan tujuan membela diri akupun berkata, "Ya, aku berusaha, tapi ga dikasih kesempatan."
Dan...jawaban berikutnyalah yang membuatku tertohok sekaligus malu setengah mati. Begini ujarnya,
"Why? Everybody has their chances. Opportunity does not knock. It presents itself when you beat down the door."
Sudah dapat ditebak apa yang selanjutnya terjadi. Aku hanya bisa terdiam dan menertawakan kebodohanku sendiri di dalam hati.

Bedanya Apa?

Jika kita menertawakan pujian orang lain terhadap diri kita...
Jika kita menolak amanah yang dipercayakan oleh mereka...
Jika kita mengatai mereka pembohong untuk penuturan mereka mengenai kelebihan kita...
...itu namanya rendah hati atau rendah diri?

Pepatah Salah Kaprah

Aku tidak suka pepatah "Air beriak tanda tak dalam." maupun teman sejenisnya "Tong kosong nyaring bunyinya."

Mengapa?

Selama hidupku sebelum mengenal fakultas psikologi unpad ini, dunia sekitarku sudah salah mengartikan pepatah tersebut. Orang yang suka berbicara dianggap tidak berisi. Alhasil, sampai sekarang aku takut berbicara. Setelah mengenal kehidupan kampus, barulah aku melihat bahwa orang yang mau mengemukakan pemikirannya lebih dihargai dibandingkan dengan orang yang diam saja.

Meskipun banyak orang cenderung memuji orang-orang pendiam dengan nilai bagus, tetapi akankah para pendiam itu dipercayai untuk memimpin? Akankah orang-orang datang kepada mereka ketika membutuhkan?
Jawabannya tentu saja tidak.

Mengapa demikian?

Dalam acara Writing Session 2012 lalu, seorang kakak berkata, "Buah pemikiran kita itu berharga hanya apabila ia bermanfaat bagi orang-orang di sekitar kita."
Ucapan itu mirip dengan nasihat guruku semasa SMA, yakni, "Jawaban UN hanya berguna di atas kertas LJK. Kalau sekedar terpikir di otakmu saja atau hanya berakhir di kertas coretan, itu tidak berguna."


Seberapa besarpun potensi yang kita miliki, orang lain tidak akan tahu bila kita sekedar memendamnya saja.

Jumat, 01 Maret 2013

Si Pramuniaga

Suatu hari di malam yang dingin membekukan, seorang pramuniaga mengambil shift malam. Ia bekerja di sebuah toko pakaian high class. Toko pakaian tempatnya bekerja merupakan salah satu toko terbaik di kota.

Sementara para tamu kaya terlihat masuk dan keluar toko bergantian dengan membawa baju-baju bagus yang juga berbungkus bagus, seorang gadis dengan pakaian compang-camping hanya berani memandang dari jendela toko. Ia mengamati beberapa baju yang sangat disukainya, namun tidak pernah dan mungkin tidak akan pernah sanggup dibelinya. Ia menelan ludah.

Ketika gadis itu memandang ke dalam dengan penuh harap, seorang pramuniaga menyapanya dengan ramah. "Mari masuk," tawarnya. Gadis itu awalnya ragu-ragu. Namun karena keramahan si pramuniaga, ia pun memberanikan diri masuk. Ia merupakan sosok yang kontras dibandingkan dengan para pelanggan berbaju necis dan suasanya yang mewah. Namun, si pramuniaga seolah tidak dapat melihat kekontrasan tersebut dan melayaninya dengan cara yang sama seperti ia biasanya melayani orang-orang lainnya.

Gadis itu mencoba banyak baju. Berulang kali ia masuk dan keluar kamar ganti, setiap kali mengagumi betapa bagusnya baju-baju tersebut melekat pada tubuhnya. Namun, si pramuniaga tidak menunjukkan ekspresi kesal sama sekali. Setelah sekitar empat puluh menit, si gadis itu telah selesai mencoba semua baju yang pernah diperhatikannya melalui jendela toko sampai malam itu. Wajahnya memerah ketika ia mengatakan bahwa ia tidak memiliki uang untuk membeli satupun. Si pramuniaga tersenyum ramah dan meyakinkannya bahwa hal itu tidak masalah. Si gadis dengan baju compang-camping kemudian meninggalkan toko dengan mata berbinar.

Seorang pelanggan yang rupanya memperhatikan kejadian tersebut selama beberapa lama akhirnya tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia mendekati si pramuniaga dan bertanya, "Mengapa kamu melayani gadis itu juga? Tidakkah kamu melihat dari pakaiannya bahwa ia tidak akan sanggup membeli pakaian apapun dari toko semewah ini?"
"Ah, Pak, " sahut si pramuniaga, "Saya adalah seorang pramuniaga. Sudah menjadi tugas saya untuk melayani para tamu yang datang ke toko ini. Mengenai siapa yang harus saya layani dan siapa yang tidak, bukanlah hak saya untuk memutuskannya," jawabnya bijak.



Sementara kita di sini, sekarang ini, dengan sombongnya memutuskan dosen mana yang patut dihormati, senior mana yang boleh dicibir, serta teman mana yang perlu didekati atau dijauhi.
Betapa memalukan.

Selasa, 26 Februari 2013

The Single Thread


"A single thread in a tapestry
though its color brightly shines
can never see its purpose
in the pattern of grand design"
- Through Heaven's Eyes, lyric




A grand design of tapestry
Another grand design

You, who is reading this post,
whoever you are, you are that single thread :)

Sulit


"Many nights we've prayed
with no proof anyone could hear.
In our hearts a hopeful song we barely understood."

Kalimat di atas merupakan bagian dari lirik lagu "When You Believe" yang paling tidak bisa kukaitkan dengan diriku sendiri. Maksudku, aku tidak punya pengalaman semacam itu. Aku tidak mengerti bagaimana orang-orang bisa melakukan sesuatu yang tidak terbukti punya efek.

Mungkin kalau aku membicarakan hal ini dengan orang-orang religius seperti teman-teman di gereja atau bahkan Nandeku sendiri, mereka akan menolak keraguanku itu. Namun, uda Berton mengakuinya. "Memang sulit," katanya, "Sulit untuk percaya bahwa sekedar bersabar dan mendoakan agar seseorang bisa berubah. Dan walaupun memang ada efeknya, itu lambat, katamu."

Memang ya. Uda bilang bahwa palu besar tidak selalu dapat menghancurkan batu yang besar dan kokoh. "Bisa-bisa malah palunya yang patah," katanya. Uda bilang, ucapan, perbuatan, dan doa yang lembut punya efek seperti air. Batu yang berada di sungai, sekeras dan sebesar apapun batu itu, pasti suatu saat akan hancur tergerus air.
"Kalau mengandalkan air untuk menghancurkan batu, prosesnya bisa jadi lama banget," bantahku dengan keras kepala saat itu.
Uda hanya bisa tertawa dan bersabar kalau ngobrol denganku. Sepertinya sih Uda tahan karena sudah sering ngobrol dengan Nande sejak dulu. Katanya, aku mewarisi sifat Nande yang bandel dan keras itu.

Kalau dipikir-pikir, banyak sih hal yang berguna jika diterapkan, namun tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Misalnya, kalau aku diare, pasti bisa jadi baikan kalau minum teh tawar pekat. Memang sampai sekarang aku belum tahu penjelasan di baliknya, tapi selalu kulakukan karena toh berguna mengurangi sakitku. Mungkin tidak salah juga mencoba doa.

Lagipula, Dan Brown, dalam bukunya "The Lost Symbol" mengatakan bahwa kekuatan doa dikaji secara ilmiah oleh disiplin ilmu baru yang disebut Noetic. Argumennya ialah, pemikiran manusia memiliki suatu "massa" layaknya massa sebutir pasir. Sebutir pasir saja memiliki massa yang sedemikian kecil, namun tetap saja "ada". Jika jutaan atau milyaran pasir bergabung membentuk suatu benda fisik yang besar, katakanlah bulan, maka massanya akan mampu mengakibatkan efek sebesar pasang-surut air laut. Demikian juga, jika pikiran yang sama dari banyak manusia bergabung, akan terkumpul "massa" yang cukup besar untuk menggerakkan benda-benda fisik.
Argumen itulah yang katanya dapat menjelaskan efek dari doa massal. Argumen itu juga, katanya, yang mengkonfirmasi pernyataan Tuhan dalam kitab suci: "Jika dua-tiga orang dari kalian berkumpul atas nama-Ku, maka Aku akan hadir."
Entah pernyataan dalam buku setengah fiksi itu benar atau tidak, namun tidak ada ruginya bila dicoba.

Mas Urip

Mas Urip adalah salah satu dosen kami. Dia merupakan dosen favoritku, tentunya.  Ada banyak hal yang membuat mas Urip jadi dosen favoritku. Bukan hanya kecerdasannya, tetapi juga caranya memperlakukan kami.

Mas Urip adalah satu dari sedikit dosen yang memperlakukan mahasiswanya dengan sepantasnya, yakni memperlakukan kami selayaknya orang dewasa. Dosen lain yang kupersepsi berbuat demikian mungkin hanya bang Pe.

Hari ini, ada satu ucapan mas Urip yang benar-benar mengena di hatiku. Beliau bilang, kami bebas memilih untuk masuk kelas maupun tidak. "Kalau tidak mau masuk, kan bisa titip absen. Toh kalau saya yang mengajar, saya tidak akan pernah memeriksa absen," katanya. "Tentu titip absen tidak disarankan dan tidak diharapkan dari kalian. Jadi, kalau mau titip absen, ya jangan sampai ketahuan," sambungnya membuat kami mengulum senyum.

Kebebasan untuk menentukan pilihan yang diberikannya membuatku benar-benar telah menjadi orang dewasa. Gestur tubuh maupun intonasi suaranya yang tidak menghakimi selalu membuatku merasa nyaman.

Rasanya, mas Urip itu satu di antara sejuta. Beruntung benar kami mendapat kesempatan dididik olehnya.

Minggu, 24 Februari 2013

Greek Myth of Love


A picture speaks a thousand words...







P.S. Obviously I didn't make this short comic.

Soul Mate

Laying in the dark with glowing hearts, you held on tight and told me that,
"Once upon a time, when gods and people existed together, people had four arms and four legs. They had two heads and two faces. They existed happily as they were and grew more powerful as time went on. The gods decided that the humans were getting too powerful and needed to be put back into place somehow, so they cut the humans in half. Each human now had only tow arms, two legs, one head, and one face. They had to spend the rest of their lives searching for their other halves to make themselves whole again. It became the point of life."

You are what secures me, the night light that keeps monsters away.
The completion of the tedious book. The story line to a perfect movie.
It's more important than the ground I walk on, despite that floating feeling you always leave in my head and in my chest.

Without you, I'd be a lesser version of myself.
We're healing dry veins and fragile bones.
We are everything.

Laying in the dark with glowing hearts, I felt your eyes piercing mine and you said that, "Neither of us meant to get attached, but the humans never meant to get separated. The point of their life was to find their other half and it happened no matter what. You are my fate."



Puisi di atas berkisah mengenai mitologi Yunani, yakni cerita mengenai cinta dan takdir. Aku tidak membuat puisi tersebut, tentunya. Aku hanya menemukannya.

Kisah ini, di satu sisi memang terlihat negatif karena bisa diartikan bahwa kita dapat meninggalkan pasangan kita tanpa berusaha mengatasi berbagai rintangan dalam suatu hubungan. Kita dapat meninggalkannya dengan berasalan, "Dia bukanlah bagian dari diriku yang telah ditakdirkan."

Namun, di sisi lain, kisah ini sungguh indah. Jika diartikan bahwa orang yang mempertahankan kita hingga pernikahan merupakan bagian dari diri kita yang telah lama hilang, maka kita akan merasa bahwa hidup sungguh berarti bersamanya...
...bahwa bersamanya diri kita menjadi utuh...
..bahwa tanpanya, kita tidak akan menjadi sekuat dan sebahagia sekarang ini.
Keyakinan inilah yang mampu membuat kita bertahan dalam perjalanan panjang dan keras...
...dalam perjalanan merajut cinta.
 

Template by Suck My Lolly - Background Image by TotallySevere.com