Hari ini aku mau bicara tentang pengakuan dari orang lain.
Kalau dalam "Hierarchy of Needs", teori oleh Abraham Maslow, pengakuan dari orang lain itu disebut "approval" yang termasuk ke dalam "esteem need". Menurut teori tersebut, pengakuan merupakan kebutuhan keempat yang dimiliki oleh manusia setelah kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, dan kebutuhan untuk dicintai serta diterima terpenuhi.
Hari ini, aku benar-benar merasakan kebutuhan akan pengakuan itu lebih daripada sebelumnya.
Apa pasalnya?
Hari ini ada kejadian yang benar-benar menusuk sekaligus mencerahkan.
Aku sudah menyaksikan teman-temanku diminta untuk menjadi pemimpin di berbagai bidang yang berbeda. Bahkan hari ini, ketika dua sahabatku diajak untuk menjadi koordinator divisi, aku hanya bisa diam. Aku diam dan bahkan tidak bisa tersenyum karena aku merasa mampu. Aku tidak bisa menyembunyikan kekecewaan karena tidak diperhitungkan sama sekali.
Kekecewaan ini sesungguhnya lebih besar terhadap diriku sendiri.
Aku bertanya-tanya, "Apakah aku tidak pantas diperhitungkan? Apakah aku tidak cukup kompeten untuk dilirik dua kali? Apakah aku tidak cukup berharga untuk membuat orang lain sedikiiiiit saja merasa bingung untuk memilih?"
Lalu aku bertanya, "Apakah alasannya karena aku kurang pandai bergaul?"
Dengan bodohnya aku mengasumsikan bahwa aku diperlakukan tidak adil.
Pada akhirnya kegalauan pun berujung pada curhat.
Satu teman yang kucurhati menanggapi, "Kalau kamu mau ikut kepanitiaan ya bilang saja sama recruiter-nya. Bilang saja kalau kamu juga mampu."
"Ya kalau ga diajak menurutku itu artinya aku ga dibutuhkan. Buat apa gabung kalau ga dibutuhkan?" jawabku, semakin kesal pada diri sendiri.
Ia menanggapi, "Kalau kamu bisa, harus ditunjukkan,"
Membuatku terdiam.
Tamparan yang kudapat dari teman curhatan yang satu lagi jauh lebih keras dan menyakitkan.
Aku bertanya, "Apakah orang yang pendiam di kampusmu masih mendapatkan pertimbangan untuk menjadi pemimpin?"
Jawabnya, "Enggaklah. Pemimpin kan harus mampu mempengaruhi dan mengatur orang lain."
Sedikit berharap, aku bertanya lagi, "Gimana kalau dia cuma jadi koordinator divisi, bukan ketua kepanitiaan? Toh orang yang bakal diaturnya bakal jauh lebih sedikit dibandingkan dengan ketua panitia."
Jawabnya, "Sama saja toh. Dia tetap punya bawahan. Miftha Thoha dalam bukunya, Perilaku Organisasi (1983 : 255), menyebutkan bahwa pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan memimpin, artinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain tanpa mengindahkan bentuk alasannya. Itu udah menjawab semuanya."
Aku dengan kesal akhirnya mengakui bahwa yang kubicarakan adalah pengalaman pribadi dan aku sedang merasa down. Tentunya dia tidak menghiburku. Seharusnya aku tahu itu karena ia pernah menjadi sahabatku meskipun sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu.
Dia malah menamparku lebih keras lagi.
"Itulah yang harus kamu perbaiki. Kenapa cuma diam saja? Tunjukkanlah kalau kamu bisa."
Dengan tujuan membela diri akupun berkata, "Ya, aku berusaha, tapi ga dikasih kesempatan."
Dan...jawaban berikutnyalah yang membuatku tertohok sekaligus malu setengah mati. Begini ujarnya,
"Why? Everybody has their chances. Opportunity does not knock. It presents itself when you beat down the door."Sudah dapat ditebak apa yang selanjutnya terjadi. Aku hanya bisa terdiam dan menertawakan kebodohanku sendiri di dalam hati.

0 komentar:
Posting Komentar