Kamis, 25 April 2013

Differences


The Sims Life Stories merupakan salah satu seri games The Sims yang dipublikasikan oleh EA Games. Seri ini merupakan penyederhanaan dari The Sims 2 yang dibuat khusus untuk dapat dimainkan dengan laptop.

Penyederhanaan yang dilakukan tidak menghilangkan beberapa fitur kompleks yang menarik dan menjadi ciri khas dari The Sims 2.
Salah satu fitur yang masih dipertahankan dan paling menarik adalah "Aspiration"

"Aspiration" merupakan atribut kepribadian yang menentukan keinginan dan ketakutan (wants and fears) dari seorang Sim.

Wants and Fears of a Sim

Ada 5 buah aspiration yang dapat dipilih ketika menciptakan seorang Sim dewasa, yakni Family, Fortune, Knowledge, Popularity, dan Romance.

                                 
                      










Ada pula yang dinamakan dengan aspiration meter.

Aspiration Meter
Aspiration meter ini dipenuhi sesuai dengan keinginan Sim. Misalnya saja, seorang Sim yang memiliki Knowledge Aspiration akan memenuhinya dengan cara mempelajari suatu hal baru, sedangkan Sim yang memiliki Popularity Aspiration akan memenuhinya dengan cara mengadakan pesta.





Adanya fitur ini membuatku berpikir ulang tentang perbedaan individual, kepribadian, minat, dan pilihan.


Aspiration yang berbeda-beda tidak membuat individu yang satu lebih baik - atau sebaliknya - lebih buruk dibandingkan dengan individu lainnya.
Adanya aspiration yang berbeda-beda malahan membuat dunia menjadi lebih kaya.



Adanya aspiration yang berbeda-beda seolah mengingatkan kembali bahwa tiap orang memang punya ciri khas masing-masing. 
Tidak perlu mencoba meniru ciri orang lain yang terkesan lebih mengagumkan. 

Determine who you are

Toh cara memenuhi aspiration kita masing-masing berbeda.
Tidak perlu memaksakan untuk berkecimpung dalam suatu bidang hanya karena kita melihat satu tokoh yang sukses dalam bidang tersebut. Mungkin memang aspiration miliknya terkait erat dengan bidang itu.
Kita cukup mengejar impian kita sendiri. Memenuhi aspiration kita sendiri.



'Coz people are meant to be different

How to Write Well

1. Avoid alliteration. Always.
2. Prepositions are not words to end sentences with.
3. Avoid cliches like the plague. They're old hat.
4. Comparisons are as bad as cliches.
5. Be more or less specific.
6. Writers should never generalize.
Seven: Be consistent!
8. Don't be redundant; don't use more words than necessary; it's highly superfluous.
9. Who needs rhetorical questions?
10. Exaggeration is a billion times worse than understatement.


Source:
http://9gag.com/gag/7035936

Motif

Definisi "motif" menurutku sendiri adalah penggerak dari tingkah laku.

Hal yang belum kuketahui adalah apakah motif yang berbeda dapat menghasilkan kualitas tingkah laku yang berbeda di domain yang sama.

Contohnya saja, apakah kualitas tingkah laku "belajar psikometri" dengan motif curiousity akan berbeda dibandingkan dengan motif untuk mendapatkan pujian?

Salah satu temanku berpendapat bahwa passion, atau motif murni akan menghasilkan kualitas tingkah laku yang lebih baik dibandingkan dengan motif instrumental.
Pendapat ini merupakan inferensi dari pengalamannya, yakni ketika timnya, yang di bawah asuhan pendidik yang mendukung mereka untuk bermain demi kesenangan dan kepuasan mendapatkan lebih banyak kemenangan dibandingkan dengan tim yang sejak awal dididik untuk menang.

Kupikir, ada benarnya juga.
Setidaknya, tak ada salahnya untuk dicoba.

Rabu, 24 April 2013

Spesial

"Ciee...tumben nih pakai rok."
Untuk kesekian kalinya disapa demikian, ia hanya tersenyum saja.
Tidak tahu bagaimana harus menanggapi perkataan orang-orang.
Bahkan tidak tahu apakah itu pujian atau bukan.

Variasi sapaan yang diterima hari ini antara lain...
"Rapi banget. Ada apa?"
"Pantas hari terik di musim hujan. Kamu pakai rok toh?"
"What the heck did you do to your hair?"

Dari senyuman serba salah untuk orang asing (acquintance, red.) yang mengomentari dengan sopan sampai kernyitan untuk teman dekat dengan komentar menyebalkan sudah dilontarkannya.

Melewati lorong-lorong kampus, tanpa sadar ia berlaku invisible seperti biasa. Tali ranselnya digenggam erat. Pandangan dialihkan dari sebagian besar manusia yang datang dari arah berlawanan.

Kelas dicapai. Kursi dituju.
Duduk, diam.

Tidak banyak yang bisa dilakukan sepuluh menit sebelum kelas dimulai.
Buka catatan. Mainkan pulpen. Tiga menit berlalu.
Tutup catatan. Buka laptop.
Buka chrome. Desktop. Chrome. 9gag. Scroooolled...
Desktop. Hibernate.

"Kamu tuh ngapain?" suara yang tidak asing. Pantulan wajahnya tampak di layar laptop yang gelap.
Cuek. Tutup laptop. "Kelihatannya?"
Tarik kursi. Duduk. "Kelihatannya kamu sedang bingung."
"Begitu?"
"Feels like you're not yourself right now."
Mengernyit. "When did you start judging me?"
"I didn't. Ain't. Won't." Tubuhnya condong, mendekat.
"What do you want?"
"What did you expect by wearing all these stuff?"
"Entahlah. Kamu sendiri yang berkata bahwa aku terlalu kelaki-lakian."
Tertawa kecil. "When did you start caring for people's opinion about you? Kamu bukan orang yang seperti itu."
"Pendekatan behavioristik terhadap kepribadian memandang manusia sebagai korban pasif dari pembentukan lingkungan. I'm a mere victim."
Senyum "Jadi kamu sedang berperan sebagai behaviorist sekarang?"
Angguk. "Tepatnya aliran Pavlov."
"Oh ya?"
"Yeah. With discrimination in association and stuff."
"Uh-huh? What kinda discrimination, exactly?"

Massa berhamburan masuk. Bangku-bangku diisi. Kegaduhan.
Langkah dosen mulai terdengar.

"Sorry. Catch you later."
"Hm."
"I'll make sure you talk about the discrimination and stuff. Take a note."

Mengamatinya berlalu...
Tersenyum kecil.
Not every opinion matters. Only yours does. I know you're special because your opinion and only your opinion is changing me.

Selasa, 09 April 2013

Sama Saja

Esensi dari sebuh percakapan yang berlangsung tidak lama ini:

Aku: "Kenapa kamu tersanjung?"
Dia: "Ya, ada orang-orang yang kuanggap berpotensi untuk menjadi pasangan. Terhadap orang-orang itulah aku lebih sensitif. Kalau mereka melakukan sesuatu, aku bisa jadi tersanjung."
Aku: "..."
Dia: "Masa' sih ga ada orang yang kamu blacklist dari daftar 'mungkin menjadi pasangan'? Orang-orang yang gimanapun ga akan bisa jadi lebih dari teman."
Aku: "Ga ada yang seperti itu."
Dia: "Masa' iya sih menurutmu semua teman laki-laki itu berpotensi untuk jadi pasangan?"
Aku: "Menurutku sih teman perempuan atau laki-laki ga ada bedanya..."


Ya, memang sama saja kan?

Is It Ok to Cry?

Dua sudut pandang dari orang-orang terdekatku:

"Jangan menangisi dia. Jangan menangis untuk hal yang tidak penting."

"Tak apa menangis jika itu caramu untuk meluapkan emosimu. Hanya saja, aku setuju, jangan menangisi dia."

Imprisoned

Entah benar atau tidak, ada satu cerita menarik yang pernah kudengar mengenai seorang Yahudi, survivor dari kamp konsentrasi NAZI. Ia sekaligus merupakan seorang penulis dan psikoanalis.
Namanya Viktor Frankl.

Setelah bebas dari kamp tersebut, ia bercakap-cakap dengan seorang temannya yang juga merupakan survivor. Kira-kira isi percakapannya ialah mengenai ketidakpercayaan bahwa mereka bisa lepas dari penjara dan segala siksaan itu, sampai temannya berkata,
"Entahlah. Aku masih belum bisa memaafkan mereka. Aku benar-benar membenci mereka."
dan Frankl berkata, "Berarti, temanku, mereka masih memenjarakanmu."

Terima Kasih

"Aku kesal."
"Ada apa?"
"Pertengkaran"
"..dengan?"
"...orang yang kukira spesial."
"..dan?"
"..dan dia pakai kata-kata kasar. Seandainya bertemu langsung pasti kupukul."
"Sudah dibayangkan?"
"Haha...memangnya ada pengaruhnya ya?"
"Ya, lebih melegakan."
"Jangan-jangan kau sering membayangkan seperti itu."
"Sesekali, dengan sangat terstruktur."
"Lucu. Okelah, patut dicoba."
"..dan?"
"..dan aku ga akan mau ngomong lagi sama dia. Ga akan kumaafkan."
"Itu bukan fitrah manusia."
"Fitrah maksudnya apa?"
"Esensi manusia."
"..tapi, dia memang menyebutkan hal yang ga bisa dimaafkan. Kalau dimaafkan, dia akan mengulanginya lagi."
"Memaafkan bukan berarti mempersilakan."
"Ya...tapi aku tetap ga mau ngomong lagi sama dia."
"Iya."
"...makasih."

Lebih Berharga

Sebuah percakapan yang berlangsung dulu sekali, namun masih lekat dalam ingatan.

Bulik: "Lho, kenapa obatnya mau dimakan? Kan Uti nggak sakit."
Aku: "Udah terlanjur Uti buka bungkusnya, bulik, kan sayang."
Bulik: "Nanti Uti malah jadi sakit. Kesehatan Uti lebih berharga daripada obat itu. Biar, obatnya dibuang aja."

Rasanya mau menertawakan diriku sendiri.
Bukan hanya dulu, ternyata sampai sekarang pun aku masih bodoh dalam hal menentukan prioritas.
Bukan hanya dulu, ternyata sampai sekarang pun aku masih terlalu mengecilkan harga diriku sendiri.
 

Template by Suck My Lolly - Background Image by TotallySevere.com