Rabu, 27 Maret 2013

Kontras

Sebuah cerita tentang seorang teman yang punya sifat-sifat yang kontradiktif satu sama lain.

Ia tidak peka. Ia tidak bisa menangis.
Namun ketika aku berkata sedih, ia seketika memutuskan mengambil alih tugasku; meringankan bebanku.

Ia bukanlah orang yang gentle. Ia tidak akan berinisiatif membawakan barang untuk perempuan.
Namun ketika menyeberang jalan dua arah penuh kendaraan, ia serta merta mengambil alih posisi yang paling rentan untuk tertabrak; serta merta mengambil peran pelindung.
Ketika ditanya alasannya, ia hanya menjawab, "Insting."

Tiga kata untuk menggambarkannya: unik, aneh, langka.

Senin, 04 Maret 2013

Wanting x Needing

When you love someone, don't give them what they want.
Give them what they need.




Approval, Esteem, Chances

Hari ini aku pengen "nyampah" dengan mengisi blog yang semestinya berisi sesuatu yang berbobot ini dengan curhat colongan. Ya...selagi nasihat dari orang yang dicurhatin cukup berbobot.

Hari ini aku mau bicara tentang pengakuan dari orang lain.

Kalau dalam "Hierarchy of Needs", teori oleh Abraham Maslow, pengakuan dari orang lain itu disebut "approval" yang termasuk ke dalam "esteem need". Menurut teori tersebut, pengakuan merupakan kebutuhan keempat yang dimiliki oleh manusia setelah kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, dan kebutuhan untuk dicintai serta diterima terpenuhi.

Hari ini, aku benar-benar merasakan kebutuhan akan pengakuan itu lebih daripada sebelumnya.
Apa pasalnya?
Hari ini ada kejadian yang benar-benar menusuk sekaligus mencerahkan.

Aku sudah menyaksikan teman-temanku diminta untuk menjadi pemimpin di berbagai bidang yang berbeda. Bahkan hari ini, ketika dua sahabatku diajak untuk menjadi koordinator divisi, aku hanya bisa diam. Aku diam dan bahkan tidak bisa tersenyum karena aku merasa mampu. Aku tidak bisa menyembunyikan kekecewaan karena tidak diperhitungkan sama sekali.
Kekecewaan ini sesungguhnya lebih besar terhadap diriku sendiri.

Aku bertanya-tanya, "Apakah aku tidak pantas diperhitungkan? Apakah aku tidak cukup kompeten untuk dilirik dua kali? Apakah aku tidak cukup berharga untuk membuat orang lain sedikiiiiit saja merasa bingung untuk memilih?"
Lalu aku bertanya, "Apakah alasannya karena aku kurang pandai bergaul?"
Dengan bodohnya aku mengasumsikan bahwa aku diperlakukan tidak adil.

Pada akhirnya kegalauan pun berujung pada curhat.
Satu teman yang kucurhati menanggapi, "Kalau kamu mau ikut kepanitiaan ya bilang saja sama recruiter-nya. Bilang saja kalau kamu juga mampu."
"Ya kalau ga diajak menurutku itu artinya aku ga dibutuhkan. Buat apa gabung kalau ga dibutuhkan?" jawabku, semakin kesal pada diri sendiri.
Ia menanggapi, "Kalau kamu bisa, harus ditunjukkan,"
Membuatku terdiam.

Tamparan yang kudapat dari teman curhatan yang satu lagi jauh lebih keras dan menyakitkan.
Aku bertanya, "Apakah orang yang pendiam di kampusmu masih mendapatkan pertimbangan untuk menjadi pemimpin?"
Jawabnya, "Enggaklah. Pemimpin kan harus mampu mempengaruhi dan mengatur orang lain."
Sedikit berharap, aku bertanya lagi, "Gimana kalau dia cuma jadi koordinator divisi, bukan ketua kepanitiaan? Toh orang yang bakal diaturnya bakal jauh lebih sedikit dibandingkan dengan ketua panitia."
Jawabnya, "Sama saja toh. Dia tetap punya bawahan. Miftha Thoha dalam bukunya, Perilaku Organisasi (1983 : 255), menyebutkan bahwa pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan memimpin, artinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain tanpa mengindahkan bentuk alasannya. Itu udah menjawab semuanya."

Aku dengan kesal akhirnya mengakui bahwa yang kubicarakan adalah pengalaman pribadi dan aku sedang merasa down. Tentunya dia tidak menghiburku. Seharusnya aku tahu itu karena ia pernah menjadi sahabatku meskipun sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu.
Dia malah menamparku lebih keras lagi.
"Itulah yang harus kamu perbaiki. Kenapa cuma diam saja? Tunjukkanlah kalau kamu bisa."
Dengan tujuan membela diri akupun berkata, "Ya, aku berusaha, tapi ga dikasih kesempatan."
Dan...jawaban berikutnyalah yang membuatku tertohok sekaligus malu setengah mati. Begini ujarnya,
"Why? Everybody has their chances. Opportunity does not knock. It presents itself when you beat down the door."
Sudah dapat ditebak apa yang selanjutnya terjadi. Aku hanya bisa terdiam dan menertawakan kebodohanku sendiri di dalam hati.

Bedanya Apa?

Jika kita menertawakan pujian orang lain terhadap diri kita...
Jika kita menolak amanah yang dipercayakan oleh mereka...
Jika kita mengatai mereka pembohong untuk penuturan mereka mengenai kelebihan kita...
...itu namanya rendah hati atau rendah diri?

Pepatah Salah Kaprah

Aku tidak suka pepatah "Air beriak tanda tak dalam." maupun teman sejenisnya "Tong kosong nyaring bunyinya."

Mengapa?

Selama hidupku sebelum mengenal fakultas psikologi unpad ini, dunia sekitarku sudah salah mengartikan pepatah tersebut. Orang yang suka berbicara dianggap tidak berisi. Alhasil, sampai sekarang aku takut berbicara. Setelah mengenal kehidupan kampus, barulah aku melihat bahwa orang yang mau mengemukakan pemikirannya lebih dihargai dibandingkan dengan orang yang diam saja.

Meskipun banyak orang cenderung memuji orang-orang pendiam dengan nilai bagus, tetapi akankah para pendiam itu dipercayai untuk memimpin? Akankah orang-orang datang kepada mereka ketika membutuhkan?
Jawabannya tentu saja tidak.

Mengapa demikian?

Dalam acara Writing Session 2012 lalu, seorang kakak berkata, "Buah pemikiran kita itu berharga hanya apabila ia bermanfaat bagi orang-orang di sekitar kita."
Ucapan itu mirip dengan nasihat guruku semasa SMA, yakni, "Jawaban UN hanya berguna di atas kertas LJK. Kalau sekedar terpikir di otakmu saja atau hanya berakhir di kertas coretan, itu tidak berguna."


Seberapa besarpun potensi yang kita miliki, orang lain tidak akan tahu bila kita sekedar memendamnya saja.

Jumat, 01 Maret 2013

Si Pramuniaga

Suatu hari di malam yang dingin membekukan, seorang pramuniaga mengambil shift malam. Ia bekerja di sebuah toko pakaian high class. Toko pakaian tempatnya bekerja merupakan salah satu toko terbaik di kota.

Sementara para tamu kaya terlihat masuk dan keluar toko bergantian dengan membawa baju-baju bagus yang juga berbungkus bagus, seorang gadis dengan pakaian compang-camping hanya berani memandang dari jendela toko. Ia mengamati beberapa baju yang sangat disukainya, namun tidak pernah dan mungkin tidak akan pernah sanggup dibelinya. Ia menelan ludah.

Ketika gadis itu memandang ke dalam dengan penuh harap, seorang pramuniaga menyapanya dengan ramah. "Mari masuk," tawarnya. Gadis itu awalnya ragu-ragu. Namun karena keramahan si pramuniaga, ia pun memberanikan diri masuk. Ia merupakan sosok yang kontras dibandingkan dengan para pelanggan berbaju necis dan suasanya yang mewah. Namun, si pramuniaga seolah tidak dapat melihat kekontrasan tersebut dan melayaninya dengan cara yang sama seperti ia biasanya melayani orang-orang lainnya.

Gadis itu mencoba banyak baju. Berulang kali ia masuk dan keluar kamar ganti, setiap kali mengagumi betapa bagusnya baju-baju tersebut melekat pada tubuhnya. Namun, si pramuniaga tidak menunjukkan ekspresi kesal sama sekali. Setelah sekitar empat puluh menit, si gadis itu telah selesai mencoba semua baju yang pernah diperhatikannya melalui jendela toko sampai malam itu. Wajahnya memerah ketika ia mengatakan bahwa ia tidak memiliki uang untuk membeli satupun. Si pramuniaga tersenyum ramah dan meyakinkannya bahwa hal itu tidak masalah. Si gadis dengan baju compang-camping kemudian meninggalkan toko dengan mata berbinar.

Seorang pelanggan yang rupanya memperhatikan kejadian tersebut selama beberapa lama akhirnya tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia mendekati si pramuniaga dan bertanya, "Mengapa kamu melayani gadis itu juga? Tidakkah kamu melihat dari pakaiannya bahwa ia tidak akan sanggup membeli pakaian apapun dari toko semewah ini?"
"Ah, Pak, " sahut si pramuniaga, "Saya adalah seorang pramuniaga. Sudah menjadi tugas saya untuk melayani para tamu yang datang ke toko ini. Mengenai siapa yang harus saya layani dan siapa yang tidak, bukanlah hak saya untuk memutuskannya," jawabnya bijak.



Sementara kita di sini, sekarang ini, dengan sombongnya memutuskan dosen mana yang patut dihormati, senior mana yang boleh dicibir, serta teman mana yang perlu didekati atau dijauhi.
Betapa memalukan.
 

Template by Suck My Lolly - Background Image by TotallySevere.com